Log Out

Johnnydeppreads – Kucing Merah Kalimantan, dikenal secara ilmiah sebagai Catopuma badia, adalah salah satu hewan liar paling langka di dunia yang hanya ditemukan di Pulau Kalimantan (Borneo)—pulau besar di Asia Tenggara yang dibagi oleh Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Satwa ini sangat sulit diamati di alam liar sehingga keberadaannya sering dianggap sebagai misteri oleh para ilmuwan dan peneliti, bahkan dalam sejarah modern dokumentasi perilaku dan populasinya sangat terbatas.

Asal Usul dan Identifikasi Ilmiah

Catopuma badia atau Bay Cat/Bornean Bay Cat merupakan spesies kucing liar yang termasuk ke dalam keluarga Felidae—keluarga yang sama dengan singa, harimau, dan kucing domestik. Walaupun jejaring filogeni menunjukkan hubungan dekatnya masih dengan spesies kucing kecil lainnya, kucing merah memiliki karakteristik fisik yang cukup berbeda dari kucing liar lain yang tersebar di Asia Tenggara.

Spesies ini diberi nama ilmiah Catopuma badia sejak pertama kali dideskripsikan pada tahun 1874 oleh ahli zoologi. Sejak saat itu, catatan ilmiah yang tersedia sangat sedikit, dan sebagian besar informasi yang diketahui berasal dari pengamatan sporadis maupun foto kamera jebak di hutan Kalimantan.

Ciri Fisik

Kucing Merah Kalimantan memiliki ukuran tubuh yang tidak jauh berbeda dengan kucing domestik besar, namun dengan proporsi tubuh yang lebih ramping, kepala yang bulat, serta bulu berwarna merah kemerahan atau cokelat kemerahan yang khas—memberi kontras yang kuat dengan habitat hijau di hutan tropis tempat mereka hidup. Ekor mereka juga relatif panjang bila dibandingkan dengan tubuhnya, memberi keseimbangan saat bergerak di tajuk pepohonan atau di bawah kanopi hutan.

Lebih jauh lagi, kucing merah termasuk jenis yang nocturnal (aktif di malam hari). Sehingga kecenderungan aktivitasnya pada malam hari membuatnya makin sulit diamati oleh manusia. Tidak banyak juga informasi jelas tentang perbedaan ukuran antara jantan dan betina. Tetapi diperkirakan bobotnya sekitar 2–4 kilogram dengan panjang tubuh (tanpa ekor) mencapai sekitar 50–67 cm.

Habitat Alami

Sebagai hewan endemik Kalimantan, kucing merah hanya dapat ditemukan di pulau ini dan habitatnya sangat spesifik. Mereka tergantung pada hutan tropis primer dan hutan sekunder yang memiliki tutupan kanopi yang lebat. Dari dataran rendah hingga area pegunungan rendah. Beberapa rekaman kamera jebak menunjukkan mereka terekam di kawasan seperti Taman Nasional Kayan Mentarang dan bentang alam hutan lainnya di Kalimantan Utara dan Tengah.

Habitat seperti hutan dataran rendah, hutan rawa gambut yang masih utuh. Serta area berhutan lebat sangat penting bagi kelangsungan hidup spesies ini—tempat mereka mencari makanan, berlindung, serta berinteraksi dengan sesama kucing liar. Namun sayangnya, habitat-habitat ini kini semakin terdesak oleh praktik penebangan, perambahan hutan, serta konversi lahan menjadi kebun sawit dan pertanian.

Perilaku dan Ekologi

Informasi tentang perilaku ekologis kucing merah sangat minim. Karena ukuran populasinya yang rendah dan aktivitasnya yang jarang terlihat. Para ahli sampai detik ini masih harus bergantung pada bukti tidak langsung seperti rekaman kamera jebak, jejak, atau laporan sporadis dari peneliti lapangan.

Yang dipahami saat ini adalah bahwa kucing merah kemungkinan besar bersifat soliter (hidup sendiri-sendiri) dan aktif pada malam hari. Mirip perilaku beberapa kucing liar lain seperti macan dahan (Neofelis diardi) dan kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis). Sebagai karnivora kecil, mereka mungkin memangsa hewan-hewan kecil seperti mamalia kecil, burung, reptil. Mungkin beberapa jenis invertebrata di habitatnya—meskipun masih dibutuhkan studi lebih lanjut untuk mengonfirmasi pola makan mereka secara detail.

Status Konservasi

Menurut IUCN Red List, kucing merah (Catopuma badia) diklasifikasikan sebagai Endangered atau terancam punah. Penilaian ini didasari oleh estimasi bahwa jumlah individu dewasa yang tersisa di alam sangat sedikit—diperkirakan kurang dari 2.500 individu dewasa—dengan tren populasi yang diperkirakan menurun akibat hilangnya habitat alami. Menurut laporan konservasi dan pengamatan lapangan baru-baru ini, keberadaan kucing merah masih sangat rentan karena:

  1. Penyusutan habitat hutan tropis akibat deforestasi untuk kegiatan ekonomi seperti penebangan liar dan perluasan perkebunan kelapa sawit.
  2. Fragmentasi habitat, yang membuat populasi terpisah dan sulit berinteraksi.
  3. Minimnya data ilmiah yang tersedia, sehingga membuat upaya konservasi menjadi kurang fokus dan kurang efektif.
  4. Perburuan liar, meskipun tidak ada bukti kuat bahwa kucing merah sering menjadi target perburuan komersial. Tekanan dari kegiatan ilegal tetap bisa terjadi di wilayah yang sama yang menjadi habitatnya.

Kemunculan Kembali Setelah Lama “Hilang”

Salah satu cerita paling menarik tentang kucing merah adalah kemunculannya kembali setelah puluhan tahun tidak terlihat. Pada tahun 2025, lewat kamera intai di Taman Nasional Kayan Mentarang, sebuah video berhasil merekam individu kucing merah berjalan di hutan—yang dipandang sebagai salah satu bukti paling signifikan atas keberadaan spesies ini dalam beberapa dekade terakhir. Rekaman ini sangat berharga karena sebelumnya kucing merah hanya pernah tercatat dua kali dalam sejarah pengamatan: pertama kali pada 1957 dan sesi lain pada awal 2000-an.

Kemunculan ini memberikan harapan baru bagi konservasionis dan peneliti bahwa masih ada populasi yang bertahan di habitat aslinya. Bahwa upaya pelestarian habitat hutan di Kalimantan dapat menghasilkan dampak positif bila dikelola dengan baik.

Upaya Konservasi dan Tantangan Mendatang

Upaya konservasi untuk kucing merah dan spesies kucing liar lain di Kalimantan sudah dilakukan oleh berbagai pihak. Termasuk Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), LSM lokal seperti Borneo Nature Foundation (BNF) Indonesia, serta peneliti independen. Mereka melakukan survei habitat, memasang kamera jebak untuk mengumpulkan data. Menyelenggarakan workshop serta kolaborasi untuk mendukung strategi konservasi jangka panjang. Namun, tantangan di depan masih besar:

  • Minimnya data dasar yang akurat tentang populasi, distribusi, dan ekologi membuat perencanaan konservasi menjadi rumit.
  • Tekanan ekonomi dari kegiatan ekstraktif di hutan tropis sering bertentangan dengan tujuan pelestarian.
  • Perubahan iklim global juga menjadi ancaman tambahan karena perubahan rezim curah hujan, suhu, dan pola vegetasi di habitat hutan tropis.

Untuk menjawab tantangan ini, diperlukan kolaborasi intensif antara pemerintah, lembaga konservasi, ilmuwan, masyarakat lokal, dan sektor swasta. Hutan yang utuh bukan hanya penting bagi kucing merah, tetapi juga bagi keanekaragaman hayati Kalimantan secara keseluruhan—termasuk banyak spesies endemik lainnya yang bergantung pada ekosistem hutan tropis.

Kucing Merah Kalimantan (Catopuma badia) adalah salah satu simbol keanekaragaman hayati Indonesia yang paling langka dan misterius. Dengan populasinya yang sangat kecil dan status terancam punah. Kehadirannya di hutan Kalimantan menjadi pengingat kuat akan pentingnya perlindungan habitat dan konservasi bagi spesies yang rentan punah. Rekaman kamera jebak yang berhasil menangkapnya setelah puluhan tahun menjadi sinyal bahwa masih ada harapan—asal kita terus menjaga hutan tropis dan mendukung langkah nyata untuk pelestarian jangka panjang.

By Ajriani JR

AjrianiJR adalah sosok kreatif di balik berbagai situs web profesional dan inovatif, dikenal karena kemampuannya menggabungkan desain estetis, fungsionalitas optimal, dan pengalaman pengguna yang mulus. Dengan keahlian dalam pengembangan web modern, AjrianiJR mampu menciptakan platform yang tidak hanya menarik secara visual tetapi juga responsif dan aman untuk berbagai perangkat. Dedikasinya pada detail dan kualitas membuat setiap proyek yang dihasilkan bukan sekadar website, melainkan solusi digital yang efektif dan berdampak.